Refleksi Lomba Media Sosial Kelompok UPPKS Via Online

oleh :
Wiwin Winarni Pamungkas
PLKB Internasional-Penggiat Pemberdayaan Masyarakat
Anggota IPKB dan KKI Jawa Barat
Direktur Perkumpulan Indonesia Kompeten


Refleksi Lomba Media Sosial Kelompok UPPKS Via Online
Dalam Rangka Hari Keluarga Nasional Provinsi Jawa Barat 2020

 

Heboh dan cetar membahana! Nuansa hati yang saya rasakan sebagai juri lomba kelompok UPPKS dengan menggunakan flatform vitual meeting zoom. Lomba ini diminati oleh 76 kelompok yang membuat sub-bidang Pemberdayaan Ekonomi Keluarga (PEK) BKKBN Jawa Barat bergadang menyeleksi 28 nominator.  Melihat tingginya minat peserta membuat kita yakin bahwa, pandemic covid19 tidak melumpuhkan semangat dan kreatifitas. Juri lomba kelompok UPPKS ada tiga orang mewakili akademisi (Bapak Dr. Asep Dedy Sutrisno – Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat Univ. Pasundan) , praktisi media (Asep Novian – YK Mark)  dan saya sendiri mewakili NGO dengan fokus pada substansi Bangga Kencana.  Dr. Asep menilai aspek kinerja kelompok dengan menilai lima indikator (mutu produk, food safety, ekonomi, sumber daya manusia dan pasar).  Praktisi media, Eka Novian menggunakan tiga indikator (konsep, visual dan engagement) untuk menilai aspek media sosial.  Sementara saya sendiri menilai aspek pemberdayaan dengan lima indikator meliputi dampak ekonomi, dampak non-ekonomi, manajemen konflik, pemanfaatan bahan lokal dan inisiatif green production dan penerapan tata kelola atau SOP sederhana).

 

Tulisan ini merupakan refleksi saya sebagai pembelajar yang berperan sebagai juri pada  perlombaan tersebut.  Ini pertama kali BKKBN mengadakan penjurian lomba UPPKS melalui virtual meeting (VM) dengan platform zoom.  Media sosial adalah penjaring peserta lomba dengan memantau traffic penggunaan media sosial untuk kebutuhan branding dan marketing.  Ini sungguh terobosan dan pintu masuk untuk pembelajaran luar biasa. Peserta mendaftar langsung, tanpa dinominasikan oleh dinas KB tingkat kabupaten/kota ataupun petugas Keluarga Berencana (PKB) atau tenaga penggerak desa (TPD). Akan tetapi PKB dan TPD hadir mendampingi proses wawancara yang berlangsung sejak jam 08.00 sampai 18.00 teng. Mesti saya yakin banyak yang merasa terpaksa, bahkan saya mendengar ada satu dua dinas kabupaten yang merajuk pada jajaran pimpinan di BKKBN Jawa Barat,  tapi at the end, peserta jadi paham proses dan dinamika penilaian. Mereka mempersiapkan diri untuk merespon pertanyaan juri.  Misalnya saya menggunakan teknik bercerita karena saya diamanati menilai inti atau spirit UPPKS.  Peserta, tanpa saya tanya, mereka sudah siap bercerita kelompok yag menjadi kebanggannya. Saya sangat concern tentang bagaimana UPPKS ini mampu menggagas pemberdayaan melalui cerita keseharian.  Dari situ saya dapat melihat aspek non-ekonomi yang muncul dan sungguh memberdayakan. Saya meminta peserta mendongeng tentang kelompok mereka dan seberapa hebat dan bermanfaatnya kelompok yang mereka bentuk. Dibenak saya sudah ada semacam check list lima indikator yang ingin saya lihat.

 

Dari 28 nominator, 7 kelompok adalah produsen produk non-pangan, sisanya 21 kelompok sisanya adalah penghasil makanan khas atau inovasi kuliner kekinian.  Ciri utama kelompok UPPKS yang ikut lomba adalah usaha pribadi atau perorangan yang sudah ada sebelum ada inisiatif pembentukan kelompok sebagai pendekatan pemberdayaan ekonomi pada konteks program Bangga Kencana. Sebagian besar pemilik usaha itu kader posyandu atau kader KB, berusia diatas 45 tahun, yang secara prinsip memiliki jiwa wirausaha dan kepedulian pada lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Kelompok ini memiliki saya juang dan lenting yang tinggi karena spirit dari pemilik usaha awal itu tadi.  Saya menyebutnya champion.  Hanya ada tiga kelompok yang benar-benar dibentuk oleh inisitaif UPPKS.  Kelompok ini memiliki ciri keterbatasan modal usaha dan pemasaran yang sangat bergantung pada pameran dagang atau event-event yang dilaksanakan oleh pemerintah. Pola hubungan anggota pada kelompok pertama adalah pegawai, resseler dan penghasil produk dengan merek dagang usaha milik ketua atau merek dagang milik kelompok.  Sementara pada kelompok yang kedua, anggota adalah tim kerja yang bekerja sama menghasilkan produk di bawah merek dagang UPPKS. Model pertama kelompok usaha ini menjadi starter yang baik bagi pengembangan ekonomi keluarga di desa.

Dari 28 peserta itu saya belajar bahwa manfaat non-ekonomi justru hal yang paling sering diceritakan sebagai dampak misalnya jadi bisa bersilaturhami, bertambah kawan, mendapatkan tambahan dan keterampilan, mendapatkan hiburan, mengetahui karakter orang, gotong royong dan solid. Terdapat empat kelompok yang secara tegas menyebutkan bahwa melibatkan anak muda, penyandang disabilitas, anak yatim  dan para janda adalah misi yang dilakukan untuk dampak yang lebih luas. Manfaat ekonomi yang didapatkan peserta beragam jumlahnya dari rentang Rp.360,000 – Rp.4,000,000/bulan.  Semakin kreatif jenis usaha semakin tinggi manfaat ekomoni dan non-ekonomi yang didapatkan anggota.

Manajemen konflik adalah bagian yang paling saya minati karena saya ingin mempelajari bagaimana kelompok yang beranggotakan ibu-ibu ini menghadapi tantangan yang dihadapinya.  Sebagian besar menjawab secara normatif bahwa masalah selalu ada, khususnya konflik karena  pengelolaan keuangan diakibatkan ketidakdisiplinan anggota dalam menyetorkan uang yang didapatkan dari aktivitas produksi kelompok. Salah satu kelompok menyatakan bahwa anggota kelompok yang keluar kelompok pasca terjadi konflik pada akhirnya kembali terdaftar menjadi anggota setelah yang bersangkutan paham aturan main pengelolaan keuangan kelompok.  Sisanya menyampaikan bahwa pendekatan kekeluargaan terbukti bisa menyelesaikan konflik diantara anggota.  Kelompok yang bertahan dan mengikuti lomba ini, adalah kelompok yang berhasil menghadapi konflik yang terjadi diantara mereka.

Inisiatif pengelolaan bahan lokal dan green production sederhana, (3 R, reduce, reuse, dan recycle) saya tanyakan untuk mengidentifikasi apakah praktek tersebut merupakan pengetahuan dan kesadaran yang melekat ataukah memerlukan masukan dari pihak luar.  Hal ini saya rasa penting, mengingat 75% kelompok UPPKS adalah produsen produk pangan sehingga praktek green production dan pemanfaatan bahan lokal adalah keuntungan komparatif dari produknya sehingga diminati pembeli. Secara umum, kendati proses produksi kelompok UPPKS sudah memenuhi standar kesehatan dan keamanan pangan, inisiatif memanfaatkan bahan lokal dan inisiatif 3R masih rendah. Akan tetapi saya masih bisa menemukan sejumlah kecil kelompok melakukannya. Sebutlah, kelompok penghasil kriya di Kota Depok dari bahan bekas pakai menerapkan zero waste karena diantaranya dituntut oleh buyer.  Sementara dua kelompok menyebutkan dengan percaya diri bahwa produksi produk pangannya berhasil menaikan harga singkong dan ikan nila serta ikan lele sejalan dengan meningkatnya permintaan produk mereka.  Satu kelompok produsen minuman tradisional menanam berbagai rimpang seperti jahe kencu dan serei untuk mengurangi pembelian langsung dari pasar.  Tiga kelompok lainnya menyebutkan bahwa ada yang menampung limbah industri mereka dan dipakai untuk berbagai keperluan, misalnya pakan ternak, bahan komposter dan bahan pencampur bio-diesel.

Aspek terakhir dari pemberdayaan adalah aspek tata kelola yang direfleksikan dalam bentuk standard operating procedure atau SOP sederhana yang diketahui oleh semua anggota kelompok. Secara umum SOP telah diterapkan akan tetapi tidak tercatat. Catatan pertemuan bulanan belum dapat ditunjukan peserta termasuk laporan keuangan.  Ini adalah aspek yang harus dibina kedepannya oleh berbagai pihak sebagai upaya peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok UPPKS. Dari sini, saya belajar bahwa peningkatan kapasitas kelompok UPPKS tidak saja dengan memberikan pinjaman modal produksi, akan tetapi memastikan penerapan tata kelola proses produksi termasuk pencatatan keuangan adalah salah satu syarat kemandirian kelompok UPPKS.


Lomba di Tengah Pandemi Covid19

Ditengah pandemic covid19 kita dipaksa menggunakan flatform berbasis jaringan internet justru itulah quick win-nya. Lomba ini membuktikan bahwa pemanfaatan ineternet oleh kelompok UPPKS memungkinkan mereka terkoneksi dengan pasar yang besar dan menciptakan market place lokal baru di semua penjuru wilayah di Provinsi Jawa Barat.  Kelompok UPPKS tidak terkendala dalam pemasaran yang selama ini mengandalkan transaksi face to face pada saat pameran.  Justru kita sering mendapati bahwa sepulang dari pemeran kelompok UPPKS tidak mencetak sales karena tidak berhasil memikat pembeli atau pengunjung yang terbatas.  Dengan pemanfaatan media sosial, semua orang bisa melihat dan dilihat dan potensi pasar terbuka sangat lebar.  Satu hari setelah penjurian dilakukan, seorang ketua UPPKS membagikan testimoni pada Kasubid Pemberdayaan Ekonomi – Ekawati Agustiana MSi, bahwa beberapa orang mengontak dan mengirim pesan untuk bertanya tentang produk dan mencoba produk olahan daun kelor yang diproduksinya. Tinggal bagaimana BKKBN menemukan lebih  banyak champion melalui platform ini, melaksanakan lomba untuk penjangauan, pendataan dan pembinaan sehingga kita memiliki peta yang lebih konkret tentang jumlah UPPKS di Jawa Barat.


Sosok Melati dan Indri

Pada saat penjurian ada dua sosok remaja putri yang sangat menarik perhatian saya. Melati dari Kelompok UPPKS Maju Sejahtera Kabupaten Garut (produsen sepatu, tas, dompet kulit) dan Indri dari Kelompok UPPKS Flamboyan A (produsen produk inovatif pangan berbahan dasar ikan) Kabupaten Sukabumi.  Melati dan Indri adalah dua remaja anggota UPPKS yang sangat menguasai aktivitas kelompoknya dan sangat aktif menjelaskan dinamika dan proses yang dijalani kelompoknya. Mereka juga tulang punggung pemasaran dengan menggunakan media sosial dan mengelola re-seller. Saya asyik mendengarkan cerita yang mengalir dari keduanya tentang motivasi mereka bergabung dengan kelompok UPPKS.  Mereka, yag juga anggota PIK-Remaja, memiliki rasa kebangsaan yang tinggi dan visioner tentang bagaimana generasinya tertarik untuk berwirausaha sejak muda. Sosok Melati dan Indri tidak akan kita temui, manakala tidak sosok yang memberikan peluang pada generasi muda untuk terlibat aktif. Kita membutuhkan aksi afirmatif agar UPPKS dikelola secara inklusif dengan melibatkan semua kelompok masyarakat yang ada.  Tercatat bahwa UPPKS melibatkan kelompok disabilitas, anak yatim dan janda dalam proses produksi dan termasuk tiga kelompok UPPKS mengembalikan keuntungan dengan memberikan santunan pada kelompok yang saya sebutkan tadi.


UPPKS Menghalau Rentenir dan Bank Emok

Kelompok UPPKS Mawar di Kabupaten Indramayu, awalnya memproduksi nugget ikan lele kemudian usaha simpan pinjam kelompok ini justru meningkat dengan pesat. Saya sudah berburuk sangka bahwa lebih banyak anggota yang meminjam justru lebih banyak yang menabung.  Ternyata saya salah!  Simpanan kelompok UPPKS ini telah menembus angka ratusan juta rupiah. Fenomena ini sangat menarik didalami bahwa kelompok UPPKS tidak mesti memproduksi produk makanan, pakaian dan kriya akan tetapi bisa memproduksi jasa termasuk jasa simpan pinjam dalam bentuk koperasi atau bahkan bank rakyat. Motivasi utama ketua kelompok UPPKS Mawar adalah untuk mencegah tetangganya meminjam pada rentenir atau bank emok, nama lokal untuk agen simpan pinjam yang menawarkan pinjaman dengan keluar masuk kampung dengan posisi duduk seperti seorang sinden. “Saya kasian sama tetangga saya Bu, banyak yang terjerat rentenir, terjerak bank emok. Tetangga mau pinjam sama kelompok saya karena murah.”  Anggota kelompok ini awalnya adalah pedagang makanan keliling dan reseller nugget ikan lele.  Ketika menjajakan dagangannya, dengan mudah mereka mencari dan mendapat nasabah untuk simpan dan pinjam sambil menjajakan barang dagangan.  Hampir semua pinjaman dipakai untuk tujuan konsumsi seperti membeli handphone, televise, kulkas dan mesin cuci.  Tidak teridentifikasi bahwa pinjaman digunakan untuk tujuan produksi atau investasi. Diketahui pula, ada kendala dihadapi oleh kelompok ketika uang setoran pinjaman tidak langsung disetorkan.  Beberapa anggota kemudian bermasalah, akan tetapi sifat dasar kelompok ibu yang welas asih mampu menyelesaikan masalah ini dengan mendisplinkan anggota menyetor cicilan nasabah tanpa menunda-nunda.  Seiring dengan berjalannya waktu, uang cicilan yang dipinjam dapat dilunasi karena anggota tersebut giat mencari nasabah lain. Hampir sama dengan UPPKS Mawar, UPPKS Sakura di Kabupaten Majalengka yang memproduksi kukusan nasi berbentuk kerucut atau aseupan meminjaman modal usaha pada anggotanya.  Peminjaan modal oleh kelompok UPPKS mencegah anggota pengrajin anyaman bamboo ini meminjam uang pada rentenir.  Modal simpan pinjam didapatkan dari kas posyandu dan kini kedua kelompok UPPKS ini mampu memberikan sumbangan yang layak untuk program pemberian makanan tambahan pada posyandu dan tentunya memberikan penghasilan bahkan utama pada anggota kelompoknya.

Fitur pemberdayaan kelompok UPPKS sangat kaya.  UPPKS tidak hanya memiliki dampak ekonomi akan tetapi lebih banyak dampak non-ekonomi yang diungkapkan peserta lomba.  Hal ini menuntut kemitraan dan strategi pembinaan mulitipahk yang berkelanjutan agar potensi UPPKS yang sangat menjanjikan bisa benar-benar berdampak pada peningkatan kesejahteraan keluarga. Yang pada akhirnya tujuan besar program Bangga Kencana akan tercapai.

Salut pada BKKBN Jawa Barat yang mampu melihat celah pada saat pandemic covid19 ini untuk tetap menjalan program Bangga Kencana bahkan melampaui harapan banyak pemangku kepentingan. Selamat memasuki era baru UPPKS Generasi 4.0 yang kental dengan pemanfaatan media sosial oleh generasi milenial.  Selamat Hari Keluarga Nasional 2020!