Tinjauan Teoritis: Indeks Pembangunan Keluarga Pada Kampung KB

 

oleh:

– Ferry Hadiyanto
– Bagdja Muljariadi

( Peneliti, FEB Universitas Padjadjaran )


Pembangunan manusia merupakan salah satu tujuan utama dari pembangunan suatu negara. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan salah satu ukuran pembangunan yang diukur secara makro – berdasarkan tiga indikator utamanya, yaitu indeks Pendidikan, Indeks Kesehatan dan Indeks Daya Beli – yang sudah disepakati secara universal dan menjadi salah saru standar kesuksesan pembangunan di tiap negara dan daerah yang ada di dunia ini. Menurut UNDP dalam bukunya Human Development Report “Globalization with a Human Face” disebutkan bahwa IPM merupakan suatu proses untuk memperluas berbagai pilihan manusia (UNDP, 1999). Pada dasarnya konsep IPM merupakan wujud dari teori pembangunan kapabilitas yang dikembangkan oleh Amartya Sen sejak tahun 1985, ketika dinobatkan sebagai pemenang nobel ilmu ekonomi di tahun 1998, Sen kemudian menuliskan ide pembangunannya dalam bukunya Development as Freedom (Sen, 1999). IPM merupakan kombinasi dari ispirasi pembangunan terkait dengan pertumbuhan ekonomi, kebutuhan dasar dan pendekatan kapabilitas. IPM mengukur tingkat keberhasilan pembangunan yang mewakili kesejahteraan manusia di tingkat nasional, regional atau kota (Bagolin & Comim, 2008). Berikut ini adalah capaian IPM di tingkat Nasional dan Jawa Barat selama periode 2013 – 2018, terlihat bahwa capaian IPM Jawa Barat sedikit lebih rendah akan tetapi memiliki pola yang sama dengan Nasional.

 

Sumber: Badan Pusat Statistik
Gambar 1. Capaian IPM Jawa Barat dan Nasional 2013 – 2018

 

Keberhasilan pembangunan yang diukur secara makro, dalam hal ini pencapaian IPM dimana meskipun capaian IPM Jawa Barat cenderung meningkat akan tetapi masih sedikit lebih rendah dibandingkan dengan nasional, terkadang membutuhkan penjelasan yang lebih detail mengenai bagaimana terjadinya keberhasilan makro tersebut dari sudut pandang mikro. Menurut berbagai studi, ada keterkaitan timbalbalik antara keberhasilan pembangunan di tingkat mikro dan makro (Witherington, 2019). Pembangunan di tingkat mikro akan memberikan pola dalam skala besar terhadap stabilitas dan arah perubahan yang terjadi di tingkat makro dan sebaliknya. Oleh sebab itu penjelasan mengenai konsep keberhasilan pembangunan dalam IPM – yang merupakan konsep pembangunan secara makro – harus dijelaskan secara lebih terinci melalui proses pembangunan dari sisi mikronya.

Hingga saat ini konsep pembanguan mikro yang bisa menjelaskan bagaimana perubahan yang terjadi dalam indikaor IPM di tingkat daerah atau makro belum banyak di teliti oleh para peneliti pembangunan di Indonesia khususnya.  Keberhasilan pembangunan manusia secara makro regional sebenarnya terletak pada keberhasilan pembangunan di tingkat keluarga sebagai unit terkecil – setelah individu – dari pembangunan itu sendiri. Menurut UU No. 52/2009 bahwa pembangunan nasional mencakup semua dimensi dan aspek kehidupan, termasuk perkembanguan penduduk dan pembangunan keluarga. Maksud yang hendak dicapai dari pembangunan keluarga adalah melaksanakan fungsi keluarga secara optimal melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga (Pasal 47, UU No. 52/2009).

Pembangunan keluarga merupakan salah satu bagian mikro guna mencapai sasaran makro peningkatan IPM. Pelaksanaan pembangunan keluarga seperti yang diamanatkan pada Pasal 48 UU No.52/2009 – peningkatan kualitas hidup anak, remaja, lansia, pemberdayaan keluarga rentan, peningkatan kualitas lingkungan keluarga, peningkatan usaha mikro keluarga, bantuan kepada keluarga miskin secara lebih efektif, dan penghapusan kemiskinan khususnya bagi perempuan yang berstatus kepala keluarga –   sesuai dengan tiga sasaran pembangunan IPM.

Pembangunan keluarga merupakan salah satu dari tiga pilar utama Badan kependudukan dan Keluarga Berencana Nasiona (BKKBN) – selain dua pilar lainnya yaitu kependudukan dan keluarga berencana. Untuk mengetahui keberhasilan pencapaian pembangunan keluarga, BKKBN menginisiasi Indeks Pembangunan Keluarga (IPK) yang terdiri atas 3 dimensi, yaitu kemandirian keluarga, ketentraman keluarga dan kebahagian keluarga, dengan total 17 variabel (Mardiya, 2020). IPK merupakan sebuah indeks yang memiliki rentang dari 0 hingga 100, dengan ketentuan bahwa IPK kurang dari 40 dinilai sebagai keluarga rentan, sedangkan nilai IPK dalam rentang 40 hingga 70 dinilai sebagai keluarga berkembang, sedangkan nilai IPK lebih dari 70 dinilai sebagi keluarga berkualitas.

Sejak tahun 2016 penerapan tiga pilar utama BKKBN melalui konsep pemberdayaan masyarakat di terapkan melalui pelaksanaan Kampung KB. Tujuan umum dari pelaksanaan Kampung KB adalah meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Selain itu, secara khusus Kampung KB diharapkan bisa menjadi wadah kerjasama antar seluruh stakeholder untuk menyelenggarakan program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK), serta pembangunan sektor lainnya sehingga terjadi peningkatan masyarakat terhadap pembangunan berwawasan kependudukan (https://kampungkb.bkkbn.go.id/about, 2021).

 

Sumber: https://kampungkb.bkkbn.go.id/tabel
Gambar 2. Perkembangan Pembentukan Kampung KB di Jawa Barat dan Nasional

 

Perkembangan pembentukan Kampung KB di Jawa Barat selama periode 2016 – 2018 relatif lebih rendah dibandingkan dengan pembentukan di tingkat nasional. Tercatat bahwa terjadi kenaikan sebesar 4,6 kali lipat di Jawa Barat pada periode tersebut, sementara di tingkat nasional

perkembangannya mencapai angka 6,4 kali lipat, seperti yang di tunjukkan pada gambar 1.2 di atas. Sementara beberapa variabel Indeks Pembangunan Keluarga di tingkat Jawa Barat dan Nasional di tunjukkan seperti pada gambar 1.3, dimana ada beberapa variabel Indeks Pembangunan Keluarga di Jawa Barat yang lebih rendah dan juga lebih tinggi dibandingkan dengan ditingkat nasional.

 

Sumber: Survei Pendataan Keluarga, 2019
Gambar 3. Beberapa Variabel Indeks Pembangunan Keluarga Tahun 2019

 

Kegiatan Kampung KB diarahkan untuk bisa mewujudkan pemmbangunan yang utuh dan terintegrasi, dimana diantaranya bisa mengaplikasikan secara utuh delapan fungsi keluarga di masyarakat, merubah perilaku dan cara berfikir masyarakat, serta pengembangan usaha perekonomian berbasis masyarakat. Beberapa kegiatan yang ada di kampung KB melibatkan seluruh anggota keluarga mulai dari anak, remaja hingga lansia. Gambar 1.4 di bawah ini menunjukkan beberapa aktivitas yang terekam dalam survei pendataan keluarga, terkait dengan aktivitas anggota keluarga dalam lingkup Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) tahun 2019. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa persentase cakupan keluarga di tingkat Jawa Barat masih lebih rendah dibandingkan dengan tingkat Nasional.

 

Sumber: Survei Pendataan Keluarga, 2019
Gambar 4. Cakupan KKBPK di Jawa barat dan Nasional Tahun 2019

 

Pembangunan manusia menjadi prasyarat penting dalam keberhasilan pembangunan secara keseluruhan. Sebagai salah satu provinsi yang memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia, keberhasilan peningkatan IPM selama ini belum cukup membuat Jawa Barat bisa lebih tinggi dibandingkan dengan IPM Nasional. Hasil laporan terhadap komponen pembentuk IPM, kesulitan Jawa Barat untuk bisa mencapai angka IPM yang lebih tinggi di bandingkan dengan Nasional ada pada indikator Pengeluaran Per kapita dan Indeks pendidikannya. Dibutuhkan kesadaran pembangunan di tingkat mikro dalam upaya memperbaiki hal tersebut. Pembangunan berbasis keluarga diharapkan mampu meningkatkan sasaran pembangunan secara makro yang pada akhirnya berkontribusi secara signifikan dalam peningkatan IPM di Jawa Barat.

Di Indonesia pembangunan keluarga merupakan upaya  mewujudkan keluarga berkualitas yang hidup dalam lingkungan yang sehat (UU No. 52/2009). Banyak penelitian terkait perilaku pembangunan keluarga yang didasari pada teori siklus hidup keluarga, yang berpengaruh terhadap utilitas dari keluarga (Duvall, 1971; Medalie, 1979; Kapinus & Jhonson, 2003; Soeharsono & Kusumowidagdo, 2016). Karakteristik keluarga akan mempengaruhi perilaku keluarga atau preferensi keluarga yang pada akhirnya akan menentukan tingkat utilitas dan capaian yang diperoleh dari keluarga tersebut.

Selain perilaku keluarga maupun individu dalam keluarga, berbagai informasi atau intervensi yang dilakukan oleh pihak-pihak lain di luar keluarga – baik pemerintah atau komunitas, seperti lembaga swadaya masyarakat –akan merubah preferensi atau perilaku dari keluarga atau individu tersebut yang pada akhirnya akan menentukan capaian keluarga. Perubahan perilaku sebagai akibat adanya tambahan informasi atau intervensi dijelaskan oleh Bradley (2008) yang merujuk pada teori perubahan preferensi yang dikembangkan oleh Becker (1976).  Ada tiga faktor utama penyebab perubahan preferensi, adanya tambahan informasi, perubahan pada keyakinan secara fundamental, dan berubah keinginan mendasar dari seseorang, diyakini akan merubah preferensi atau perilaku keluarga atau individu.

Kampung KB sebagai wujud aktivitas KKBPK yang berbasis pada konsep pembangunan berbasis masyarakat merupakan upaya meningkatkan perubahan kesadaran keluarga – melalui perubahan perilaku dan preferensi dalam bidang kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga. Oleh sebab itu diyakini akan ada hubungan yang sinergis antara kualitas aktivitas dari Kampung KB dengan perubahan pembangunan keluarga – yang pada akhirnya akan berdampak pada pembangunan secara makro, yaitu keberhasilan pencapaian IPM.

Berdasarkan penjelasan teoritis dan data-data yang ada – seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya – maka rumusan masalah yang bisa diangkat pada usulan penelitan ini adalah bahwa rendahnya kecepatan pembentukan Kampung KB di Jawa Barat – dibandingkan dengan tingkat Nasional – akan mempengaruhi capaian program KKBPK, khususnya indeks pembangunan keluarga. Meskipun capaian IPK juga dipengaruhi oleh kondisi siklus keluarga dan juga berbagai aktivitas yang diselenggarakan di masing-masingKampung KB.

Adapun yang seringkali menjadi menjadi fokus dari pertanyaan terkait laitan dengan IPK yang dapat diteliti adalah:

  1. Bagaimana kondisi tahapan siklus kehidupan keluarga akan mempengaruhi tingkat pencapaian IPK di masing-masing keluarga di Jawa Barat?

  2. Seberapa signifikan karakteristik yang di miliki oleh masing-masing keluarga akan mempengaruhi capaian IPK di Jawa Barat?

  3. Seberapa besar kualitas aktivitas yang dilaksanakan oleh Kampung KB akan berdampak pada peningkatan capaian IPK di Jawa Barat?

  4. Apakah keberlanjutan kegiatan Kampung KB – periode terbentuknya Kampung KB – dan juga lokasi serta ruang lingkup wilayah akan mempengaruhi capaian IPK di Jawa Barat?Tinjauan Pustaka

 

Keluarga adalah lembaga kesejahteraan sosial yang komprehensif. Mereka seperti miniatur sebuah negara yang berusaha memaksimalkan kesejahteraan (Waring, 1988). Keluarga adalah entitas yang komprehensif dan terintegrasi, sehingga tidak perlu dilakukan dikotomi antara individu dan keluarga, keduanya merupakan satu kesatuan (Briar – Lawson, et al, 2001). Oleh sebab itu preferensi individu pada dasarnya menjadi preferensi suatu keluarga. Kebijakan yang berpusat pada keluarga (family–center policy) mengasumsikan bahwa keluarga memiliki suatu keahlian untuk mencapai keinginannya membangun manusia, sehingga keluarga bisa menjadi mitra pembuat kebijakan untuk memaksimumkan pembangunan manusia. Keberhasilan pemerintah dalam membangun kualitas sumberdaya manusia harus diawali dari keberhasilan membangun kualitas manusia di dalam lingkungan keluarga (Puspitawati, 2020). Ketika keluarga dipandang memiliki keahlian untuk mencapai tujuan keluraganya dan keluarga diperlakukan sebagai mitra, maka fokus pembangunan sebenarnya cukup berada di tingkat keluarga saja – tidak perlu ada dikotomi antara kebijakan pembangunan nasional atau daerah dan kebijakan pembangunan ditingkat keluarga (Briar – Lawson, et al, 2001).

Keluarga merupakan institusi sosial yang penting dalam pembangunan. Sebuah institusi sosial berkembang dari budaya yang diakui dan dipatuhi oleh lingkungan masyarakat – karena diyakini jika dipatuhi secara bijak akan menghasilkan insentif bagi masyarakatnya. Perbedaan dalam insitusi sosial di sebabkan salah satunya dari perbedaan norma dan sosial-budaya yang dianut oleh masyarakatnya. Meskipun perilaku dari keluarga sangat bergantung pada kondisi lingkungannya, akan tetapi para ahli meyakini bahwa perilaku keluarga – baik dalam konsumsi, maupun perilakunya secara umum – sangat dipengaruhi oleh siklus kehidupan keluarga (Duvall, 1971; Medalie, 1979; Kapinus & Jhonson, 2003; Soeharsono & Kusumowidagdo, 2016). Laszloffy (2008), mengutip dari Duvall (1988), menyebut siklus kehidupan keluarga diambil dari teori pembangunan keluarga, yang menggambarkan evolusi perkembangan keluarga sepanjang waktu, yang ditandai dari membangun pola hubungan yang terjadi antara anggota keluarga (Duvall, 1988). Siklus kehidupan keluarga – berdasarkan perilaku umumnya – terdiri atas 4 tahapan (Laszloffy, 2008), yaitu:

  1. Tahap pertama dari siklus keluarga adalah pada saat orang dewasa muda memutuskan meninggalkan rumahnya untuk hidup secara mandiri tanpa bergantung pada orang tuanya,

  2. Tahap kedua dari siklus keluarga adalah pada saat memutuskan untuk menikah untuk pertama kalinya, dan kemudian mempersiapkan anak-anaknya agar bisa hidup secara mandiri,

  3. Tahap ketiga dari siklus keluarga adalah pada saat orang tua masuk masa pensiun, dan

  4. Tahap keempat adalah tahap dimana orang tua meninggal dunia.

 

Sementara itu Medalie (1979) menjelaskan tahapan siklus kehidupan keluarga seperti pada gambar 2.1 di bawah ini. Dimulai dari tahapan penjajakan untuk menikah (pacaran), tahapan awal pernikahan (belum memiliki anak), tahapan memiliki anak pertama, tahapan memiliki anak berikutnya, tahapan dimana anak pertama mulai meninggalkan orang tua (mandiri), tahapan anak terakhir meninggalkan orang tua, tahapan semua anak sudah mandiri, tahapan sendiri tanpa pasangan, tahapan semua orang tua sudah meninggal.

 

Sumber: Medalie, 1979
Gambar 5. Siklus Kehidupan Keluarga

 

Menurut Bappenas yang dikutip oleh Puspitawati (2020) membagi siklus keluarga dikatikan dengan aktivitas yang harus dilakukan oleh keluarga. Keluarga yang memiliki anak balita akan memiliki perbedaan perilaku dan aktivitas dibandingkan dengan keluarga yang terdiri atas lansia. Perilaku dan aktivitas dari masing-masing tahapan tersebut ditunjukkan seperti pada di bawah ini.

 

Sumber: berbagai literatur.
Gambar 6. Perilaku dan Aktivitas Keluarga Sesuai Siklus Hidup Keluarga

 

Oleh sebab itu program KKBPK telah mempersiapkan tahapan-tahapan dari siklus keluarga tersebut dengan berbagai kegiatan pembangunan dan aktivitas yang bisa dilakukan oleh keluarga, yang fokus kegiatannya bisa dikoordinasikan dengan kegiatan yang ada di Kampung KB. Paling tidak ada 4 kegiatan yang biasa dilakukan pada program KKBPK yang dilaksanakan di Kampung KB, diantaranya adalah: (1) Kegiatan Bina Keluarga Balita (BKB), (2) Kegiatan Bina Keluarga Remaja (BKR), (3) Kegiatan Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK Remaja), dan (4) Kegiatan Bina Keluarga Lansia (BKL).

Aktivitas-aktivitas yang dilakukan dalam Kampung KB tersebut juga diarahkan untuk memenuhi fungsi keluarga. Secara teoritis setiap keluarga akan memiliki stuktur dan fungsi dari keluarga (Kingsbury & Scanzoni, 1993). Struktur keluarga diatur dari berbagai peran yang menyusun sistem sosial di lingkungan keluarga – dimana peran akan terbentuk berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma yang ada di masyarakat. Sistem sosial merupakan konstruksi besar yang membentuk struktur keluarga, dan sangat berpengaruh menentukan fungsi keluarga (Bell & Vogel, 1960, dalam Kingsbury & Scanzoni, 1993), oleh sebab itu strukur dan fungsi keluarga merupakan bagian penting dalam studi dan kebijakan yang terkait dengan keluarga. BKKBN telah menetapkan ada delapan fungsi keluarga yang menjadi prasyarat, serta pola hidup setiap keluarga dalam rangka terwujudnya keluarga sejahtera dan berkualitas. Saputra (2020) menjelaskan kedelapan fungsi keluarga sebagai berikut: (1) Fungsi Agama, Fungsi Sosial Budaya, (3) Fungsi Cinta Kasih, (4) Fungsi Perlindungan, (5) Fungsi Reproduksi, (6) Fungsi Sosialisasi Pendidikan, (7) Fungsi Ekonomi, dan (8) Fungsi Lingkungan.

Konsep Indeks Pembangunan Keluarga (IPK) memberikan gambaran peran dan fungsi keluarga untuk mewujudkan kualitas keluarga. Penentuan besaran kualitas keluarga yang didasari atas 3 dimensi utama keluarga, yaitu: (1) Kemandirian Keluarga, (2) Ketentraman Keluarga, dan (3) Kebahagian Keluarga. Selain 3 dimensi utama tersebut, IPK juga dipengaruhi beberapa faktor, baik yang berasal dari karakteristik rumah tangganya itu sendiri maupun dari faktor-faktor lainnya seperti tahapan siklus yang ada di keluarga tersebut. Informasi dan intervensi dari berbagai pihak – berupa berbagai aktivitas yang dilaksanakan di Kampung KB – juga dipercaya akan mempengaruhi besaran IPK. Oleh sebab itu kerangka konseptual dari faktor-faktor yang mempengaruhi besaran IPK di Kampung KB ditunjukkan seperti gambar dibawah ini.

 

Sumber: Kerangka Konsep Pelaksana Kegiatan
Gambar 7. Kerangka Konseptual Faktor-Faktor yang Mempengaruhi IPK di Kampung KB

 


Daftar Pustaka

Aprillia,Y.T.,Adawiyah,A.R.,&Agustina,S,.(2020). Analisis Penggunaan Alat Kontrasepsi Sebelum dan Saat Pandemi Covid-19.Jurnal untuk Masyarakat Sehat(JUKMAS).4(2).

Ariyanti, L., Dasuki, D., & Wilopo, S. A. (2017). Ketersediaan Sumber Daya Kesehatan dan Kebutuhan KB Tidak Terpenuhi (Unmet Need) Analisis Tingkat Provinsi. Berita Kedokteran Masyarakat, 33(1), 49–54.

Aruan,R.(2011).Analisis Faktor- Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Unmet Need KB di Kelurahan Kemijen Kecamatan Semarang Timur Tahun 2011.E-Journal Undip.FKM UNDIP. Arum,D.,dan Sujiyantini.(2009).

Panduan Lengkap Pelayanan KB Terkini.Yogyakarta: Nuha Medika. Ashford, L. (2003). Unmet Need For Family Planning : Recent Trends and Their Implications for Programs. Population Reference Bureau, 1–7.

Asif, M. F., & Pervaiz, Z. (2019). Socio-demographic determinants of unmet need for family planning among married women in Pakistan. BMC Public Health, 19(1), 1–8. https://doi.org/10.1186/s12889-019-7487-5

BKKBN .(1994).Pembangunan Keluarga Sejahtera di Indonesia berdasarkan UU No 10 Tahun 1992 dan GBHN Tahun 1993.Jakarta : BKKBN. BKKBN. (2011). Pelayanan Keluarga Berencana. Jakarta: BKKBN.

BKKBN. (2015). Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Cetakan ke5. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

BKKBN.(2020). Rencana Strategis BKKBN 2020-2024.Jakarta: BKKBN.

Hartanto,H.(2004).Keluarga Berencana dan Kontrasepsi.Jakarta:Pustaka Sinar Harapan.

Mandelie, J.H, (1979); The family life cycle and its implications for family practice; J Fam Practice; Jul;9(1):47-56