Pejuang Keluarga Lintas Negara

Oleh :

Khairunnas, S.HI., MM; PKB Ahli Muda BKKBN Jawa Barat

Seperti biasa, selepas menunaikan shalat subuh, saya jogging di sekitar lingkungan rumah. Sebelum pulang, saya seringkali mampir dulu di warung kopi dekat rumah. Aktivitas ini hampir saban hari saya lakukan, kecuali jika ada agenda yang mengharuskan saya untuk berangkat lebih pagi.

Di warung kopi, saya biasa berbincang-bincang dengan pengunjung lainnya. Berbagai topik kami bahas, mulai soal ekonomi, keluarga, hingga politik. Khas obrolan warung kopi. Kawan diskusi saya umumnya beragam, dengan berbagai latar belakang pendidikan dan pekerjaan. Obrolan kami biasanya diiringi alunan musik dangdut atau koplo seperti umumnya yang sering diputar di warung kopi.

Pagi itu, ada suasana berbeda di warung kopi dari biasanya. Saya lihat banyak anak-anak muda, laki-laki maupun perempuan, ikut ngopi bersama saya. Saya amati wajah mereka, tak satupun yang saya kenal. Sepertinya mereka orang baru di wilayah tempat tinggal saya. Apalagi ketika saya mendengar obrolan mereka yang menggunakan bahasa daerah tertentu, yang sebagian saya paham dan sebagian tidak.

Setelah beberapa saat menyimak keasyikan mereka ngobrol, saya pun tertarik untuk ikut nimbrung bersama mereka. Saya mengawali pembicaraan dengan mengenalkan diri dan menyampaikan jika saya tinggal di sekitar warung kopi tersebut. Saya mengatakan, baru kali ini melihat mereka, dan bertanya apakah mereka berasal dari luar daerah. Secara serentak mereka menjawab ya, sembari menyebut nama salah satu daerah yang terletak di wilayah Jawa Tengah.

Kami pun terlibat dalam obrolan hangat, sembari menyeruput kopi yang disuguhkan oleh penjaga warung kopi. Saya kemudian melontarkan beberapa pertanyaan tentang keberadaan mereka di daerah tempat tinggal saya. Dimana mereka tinggal dan apa kegiatan mereka selama ini.

Sebut saja Rudi (bukan nama sebenarnya), menyebut mereka tinggal di salah satu rumah yang dijadikan sebagai tempat pelatihan. Saya pun semakin penasaran, tempat pelatihan apakah itu gerangan? Namun rasa penasaran saya langsung terjawab ketika Rudi mengatakan bahwa mereka mengikuti pelatihan untuk diberangkatkan ke Negeri Sakura sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

Rudi dan kawan-kawannya saat ini sedang dipersiapkan sebelum dikirim ke Jepang sebagai tenaga kerja. Mereka akan mengisi berbagai pekerjaan yang dibutuhkan di negeri Naruto tersebut. Umumnya sebagai buruh di tempat pemotongan hewan, pasar ikan, peternakan, restoran, taman, dan sebagainya.

Meski profesi yang akan mereka geluti bukan pekerjaan kantoran yang didambakan oleh banyak anak muda, tapi saya melihat optimisme yang begitu kuat dari raut wajah Rudi dan kawan-kawannya. Mereka berharap, keberangkatan mereka untuk bekerja ke Jepang akan meningkatkan taraf hidup keluarganya.

Rudi menyadari, mencari pekerjaan di Indonesia saat ini bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi bagi orang seperti dirinya yang hanya mengandalkan ijazah SLTA. Belum lagi masalah rendahnya upah buruh. Dia pesimis akan mendapatkan pekerjaan yang baik dengan gaji yang memadai jika hanya bekerja di Indonesia.

Sebagai anak muda dan belum berumah tangga, Rudi merasa tidak terlalu berat untuk meninggalkan Indonesia. Demi masa depan yang lebih baik, dia akan berjuang keras di negeri orang, menabung dan mengumpulkan modal, untuk kembali ke Indonesia guna membangun kehidupan rumah tangga.

Namun, lain lagi dengan Ridwan. Dia akan meninggalkan Indonesia dalam kondisi telah berumah tangga. Dia telah memiliki seorang anak, dan keluarganya saat ini tinggal di kampung halaman. Meninggalkan anak dan istri tentu bukan sesuatu yang mudah bagi Ridwan. Namun dia seperti tidak memiliki pilihan lain, selain berangkat ke Jepang demi memperbaiki ekonomi keluarga.

Kepada saya Ridwan berkisah, tekadnya untuk merantau ke negeri orang tidak bisa ditahan lagi, meski harus menahan rindu pada anak dan istri. Apalagi perjuangannya untuk sampai bekerja di Jepang tidaklah mudah. Selain harus menempuh pendidikan di asrama selama 3 bulan, mereka juga harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Menurut ceritanya, dia harus mengeluarkan uang hingga 60 juta agar bisa mengikuti pendidikan untuk bekerja di Jepang tersebut.

Biaya 60 juta itu digunakan untuk berbagai kegiatan. Selain untuk pelatihan selama 3 bulan, juga untuk tiket ke Jepang. Selain itu, juga untuk biaya hidup sehari-hari selama menempuh pendidikan di asrama. Ridwan menuturkan, selama tinggal di asrama, mereka harus masak sendiri dengan biaya dari kocek pribadi. Jika saja mereka tidak pandai mengatur keuangan, tentu biaya yang harus dikeluarkan bisa lebih besar lagi.

Mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk memperoleh pekerjaan adalah salah satu potret kehidupan masyarakat kita. Bagi sebagian orang, biaya sebesar 60 juta tentu bukanlah sesuatu yang besar. Namun tidak bagi Rudi dan Ridwan. Menurut cerita keduanya, untuk membayar biaya selama pendidikan dan tiket ke Jepang, sebagian dari mereka harus menjual tanah atau ternak di kampung halaman. Demi kehidupan ekonomi keluarga yang lebih baik, mereka rela mengorbankan harta bendanya.

Kisah Rudi dan Ridwan menyadarkan kita, bahwa demi kehidupan keluarga yang lebih baik, seseorang rela melakukan apapun, selama itu baik, halal, dan dapat mengangkat derajat keluarganya. Keluarga adalah sumber inspirasi bagi banyak orang. Keluarga dapat menggerakan seseorang untuk bekerja lebih keras, berjuang tanpa lelah, untuk meraih keberhasilan.

Rudi dan Ridwan adalah potret tanggung pejuang keluarga. Saya optimis, mereka akan kembali ke Indonesia dengan membawa kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya. Kebulatan tekad mereka adalah modal awal yang sangat bagus untuk meraih keberhasilan. Do’a saya selalu menyertai kalian pejuang keluarga lintas negara, semoga sukses dan berhasil di negeri orang.