Pejuang Keluarga Lintas Negara Seri 2

Oleh :

Khairunnas, S.HI., MM; PKB Ahli Muda BKKBN Jawa Barat

Setelah sebelumnya berkisah tentang perjuangan anak bangsa menjadi TKI di Jepang, kali ini saya ingin bercerita tentang seorang mantan TKI. Sebut saja namanya Paijo. Sehari-hari dia bekerja sebagai pramusaji di sebuah rumah makan Padang serba 10.000. Saya bertemu dengannya karena sering makan di rumah makan Padang itu.

Sebagaimana kebiasaan saya, di setiap kesempatan duduk santai dan lama di sebuah tempat, saya selalu menyempatkan diri ngobrol dengan orang yang ada di situ. Bagi saya, ngobrol santai sambil makan atau ngopi adalah aktivitas yang sangat mengasyikkan. Apalagi jika lawan bicara saya adalah orang yang punya pengalaman banyak. Saya akan dengan semangat menggali bagaimana perjalanan hidupnya.

Hari itu adalah untuk kesekian kalinya saya makan di rumah makan Padang itu. Lokasinya persis di depan jalan raya sebelum masuk ke arah rumah saya. Letaknya sangat strategis karena merupakan jalan utama yang menghubungkan Kota Depok dengan Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Saban hari jalan tersebut ramai dengan pengendara motor yang hilir mudik dari Depok ke Jakarta atau sebaliknya. Apalagi pada saat jam berangkat atau pulang kerja. Arus lalu lintas sangat padat bahkan terkadang menyebabkan kemacetan.

Pemilik rumah makan Padang ini cukup jeli melihat peluang pasar. Dia tahu persis bahwa lokasi tersebut sangat strategis jika melihat traffic lalu lintasnya yang sangat ramai. Hal itu terbukti, sejak warung makan Padang itu buka, selalu ramai dikunjungi pembeli. Sehari, mereka bisa menjual 400-500 porsi.

Saya cukup kagum dengan apa yang mereka lakukan. Apalagi pemilik rumah makan tersebut adalah anak muda usia 20-an tahun. Lain waktu saya akan berkisah tentang anak muda itu. Namun, kali ini saya ingin bercerita tentang Paijo yang menjadi karyawan di rumah makan Padang tersebut.

Paijo anak muda berusia kurang dari 30 tahun. Perawakannya pendek dan sedikit berisi. Cara bicaranya sedikit medok karena memang dia berasal dari Tegal, Jawa Tengah. Raut mukanya selalu ramah dan penuh senyum. Dari cara dia melayani pelanggan, tampak jelas jika Paijo orang yang sudah syarat pengalaman.

Dugaan saya tidak meleset. Ketika suatu saat berkesempatan untuk ngobrol lama, dia menuturkan kisahnya bagaimana sampai menjadi karyawan di rumah makan Padang itu. Sebelum bekerja di warung Padang itu, Paijo telah melanglang buana ke berbagai daerah di Indonesia bahkan luar negeri.

Pada awalnya, setamat sekolah di Jawa, Paijo merantau ke Kalimantan Barat. Dia ikut dan bekerja dengan kakaknya yang membuka bengkel di Provinsi Khatulistiwa tersebut. Namun dia tidak lama ikut kakaknya, karena penghasilan yang sangat minim. Dia kemudian bekerja di sebuah rumah makan Padang milik perantau Minang di Kota Pontianak.

Setelah beberapa tahun bekerja di rumah makan Padang itu, Paijo mendapatkan tawaran yang menggiurkan dari sebuah agen penyaluran TKI. Dia dijanjikan akan bekerja di luar negeri. Bagi Paijo, tawaran ini tentu sangat menarik. Apalagi dia tidak harus mengeluarkan biaya sepersenpun karena semuanya telah ditanggung oleh perusahaan.

Singkat cerita, Paijopun menerima tawaran tersebut. Bayang-bayang kesuksesan dan uang banyak menari-nari di benaknya. Mungkin, dengan bekerja di luar negeri mimpi-mimpinya untuk hidup lebih sejahtera bisa diwujudkan. Apalagi, dia mendengar banyak TKI yang hidup mapan setelah bekerja di luar negeri.

Paijo akhirnya berangkat ke luar negeri. Negara yang ditujunya adalah Taiwan yang memang jadi tempat ribuan TKI mengadu nasib. Setelah pamit dengan keluarga, dia pun berangkat dengan membawa seribu harapan. Paijo, seperti TKI lainnya mengharapkan, dengan bekerja di luar negeri, kehidupan mereka akan berubah lebih sejahtera.

Di Taiwan, Paijo bekerja sebagai anak buah kapal nelayan. Sebagai salah satu negara dengan industri perikanan yang sangat maju, kapal-kapal nelayan di Taiwan berukuran sangat besar dan dilengkapi dengan alat tangkap yang modern. Sekali melaut, mereka biasanya baru kembali ke darat setelah satu bulan lamanya.

Paijo menuturkan, selama satu bulan di laut, mereka akan menjelajahi berbagai lautan dan samudra. Seluruh perbekalan selama satu bulan ini akan disiapkan oleh perusahaan. Tidak hanya kebutuhan pokok seperti makanan dan minuman tetapi juga hiburan untuk awak kapal guna mengusir stres dan kebosanan.

Di kapal, berbagai fasilitas untuk mengusir kebosanan disiapkan oleh perusahaan. Mulai dari sarana olahraga, cafe untuk nongkrong dan ngopi, hingga ruang karoeke bagi yang hobbi menyanyi. Bahkan, tidak cukup sampai di situ, pada setiap pelayaran, ikut serta pula sejumlah wanita yang berprofesi sebagai PSK.

Sambil tersenyum malu, Paijo berkisah, keberadaan PSK ini seringkali membuat anak buah kapal yang sebagian besar berasal dari Indonesia, pulang dengan tangan hampa. Gaji mereka habis untuk membayar tagihan kencan dengan para PSK tersebut. ”Gaji anak buah kapal saat itu hanya sekitar 3,5 juta jika dirupiahkan. Jika mereka terlalu sering kencan atau open bo maka gaji mereka akan habis membayar tagihan,” ujar Paijo seraya menyatakan jika dia termasuk salah satu ABK yang tidak pernah open bo.

Bagi Paijo, satu hal yang membuatnya lebih prihatin adalah tentang negara asal dari para PSK tersebut. Menurutnya, sebagian besar para PSK itu adalah warga negara Indonesia. Mereka berasal dari beberapa wilayah di Pulau Jawa. Usia mereka masih sangat muda, mulai dari belasan tahun hingga 30-an.

Pengalaman Paijo menjadi potret betapa tidak mudahnya para TKI untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang lebih sejahtera. Keputusan mereka untuk meninggalkan keluarga dan sanak famili tidak selalu berbuah manis. Mimpi hidup sejahtera yang mereka dambakan justru terkadang berujung tragis. Tidak sedikit TKI yang meninggal di negeri perantaun atau tertular penyakit yang mematikan.

Namun, kisah Paijo berjuang di negeri orang menjadi contoh betapa anak muda Indonesia sejatinya memiliki daya juang yang tangguh untuk mencapai cita-cita dan impian. Demi mewujudkan kehidupan keluarga yang lebih sejahtera, mereka rela pergi merantau ke negeri yang asing. Sayang, perjuangan mereka seringkali diabaikan oleh negara, bahkan oleh keluarga yang mereka perjuangkan itu.